MAKALAH PRAGMATIK LENGKAP
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1
Latar
Belakang............................................................................... 1
1.2
Rumusan
masalah ......................................................................... 1
1.3
Tujuan
Penulisan ........................................................................... 1
1.4
Manfaat
Penulisan………………………………………………... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 3
2.1
PengertianPragmatik...................................................................... 3
2.2
Jenis-JenisPragmatik…………………………….......................... 4
a. TindakTutur............................................................................. 4
b. Implikatur................................................................................ 7
c. Deiksis..................................................................................... 8
2.3
Teori Dan Prinsip Kesantunan Dalam Pragmatik.......................... 10
1. Prinsip Kesantunan Lakoff...................................................... 11
2. Prinsip Kesantunan Brown Dan
Levinson............................... 11
3. Prinsip Kesantunan Leech....................................................... 12
2.4
Skala Kesantunan.......................................................................... 14
a.
Skala Biaya-Keuntungan........................................................ 14
b.
Skala Keopsionalan................................................................. 15
c.
Skala Ketaklangsungan........................................................... 15
BAB III KESIMPULAN........................................................................... 16
3.1
Kesimpulan……………………………………………………....... 16
3.2 Saran…………………………………………………………......... 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 17
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Salah satu cabang dari linguistik yang mempelajari
tentang ujaran dari sang penutur adalah pragmatik. Seorang ahli bahasa Leech
mengemukakan bahwa pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran di dalam
situasi-situasi tertentu atau dalam konteks tertentu. Atau dengan kata lain pragmatik
adalah ilmu cabang lnguistik yang mengkaji hubungan timbal balik antara fungsi
dan bentuk tuturan. Dan dalam pragmatik inilah terdapat prinsip-prinsip tentang
bagaimana seorang manusia bertutur dalam situasi tertentu. Salah satu dari
prinsip tersebut adalah prinsip kesantunan atau kesopanan. Dengan mengetahui
prinsip-prinsip kesantunan kita sebagai penutur bisa menerapkan atau
mengimplementasikanany dalam situasi atau konteks tertentu dalam membuat
tuturan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1) Apa saja jenis-jenis dalam pragmatik itu?
2) Apa saja komponen-komponen yang terdapat pada pragmatik?
3) Apa saja prinsip-prinsip kesantunan itu?
4) Bagaimana kita menilai seseorang bertutur santun atau
tidak?
5) Apa saja skala-skala kesantunan itu?
1.3 TUJUAN
1) Menjelaskan prinsip-prinsip kesantunan dalam
pragmatik.
2) Menjelaskan komponen-komponen yang ada dalam
prinsip-prinsipkesantunan dalam pragmatik.
3) Menilai atau mengukur santun tidaknya penutur dalam
menyampaikan tuturannya pada mitra tutur.
4) Mengetahui skala kesantunan penutur.
1.4
Manfaat Penulisan Makalah
Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi pembelajaran
Pragmatik dan peneliti bidang Pragmatik.
1. Bagi pengajar Pragmatik, makalah ini dapat dijadikan
bahan pembelajaran.
2. Bagi mahasiswa yang mempelajari Pragmatik, makalah ini
dapat dijadikan salah satu literatur.
3. Bagi peneliti bidang Pragmatik, makalah ini dapat
dijadikan landasan teori.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.1
Pengertian Pragmatik
Pragmatik dapat
dianggap sebagai salah satu bidang kajian linguistik yang akhir-akhir ini
berkembang pesat. Wujud tuturan yang dahulu dibuang di keranjang sampah karena
tidak dapat dianalisis secara linguistik sekarang merupakan lahan subur dalam
kajian pragmatik. Baik semantik ataupun pragmatik sama-sama mengkaji “arti”
namun dari sudut pandang yang berbeda. Semantik mengkaji arti lingual yang
tidak terikat konteks, sedangkan pragmatik mengkaji “arti” yang disebut “the
speaker’s meaning” atau arti menurut tafsiran menurut penutur
yang disebut “maksud”. Arti menurut tafsiran penutur atau maksud itu sangat
bergantung konteks. Tanpa memperhitungkan konteks arti itu tidak dapat
dipahami. Contoh: ada seorang mahasiswa yang datang ke sebuah warung sate
terkenal di Solo, namanya “Warung Sate mbok Galak” (karena penjualnya seorang
wanita yang agak lanjut usia yang dipanggil “mbok”). Mahasiswa itu
berkata: “Bu saya dibakar, dibungkus, dibawa pulang.” Tuturan itu tidak dapat
dikaji menurut ilmu linguistik (mana mungkin penutur dibakar lalu dibungkus).
Namun dengan memperhitungkan konteks di mana tuturan itu terjadi, dengan siapa
dia bertutur, pengetahuan latar yang dimiliki bersama, komunikasi itu berjalan
lancar tanpa salah paham. Pengetahuan latar yang dimiliki bersama adalah bahwa
sate itu ada yang dibakar ada yang direbus. Jadi penutur itu hendak membeli
sate yang dibakar, dibungkus (tidak dimakan disitu), dibawa pulang (dimakan di
rumah).
Pragmatik mengkaji kondisi-kondisi penggunaan bahasa
manusia yang ditentukan oleh konteks kemasyarakatan. Penggunaan bahasa bersifat
real atau nyata yang melibatkan penutur dan mitra tutur dalam situasi pemakaian
tertentu, mengenai hal tertentu. Kondisi penggunaan bahasa itu ditentukan oleh
konteks kemasyarakatan.
1. Pengertian Pragmatik menurut Para
Ahli
1.
Menurut Leech (1993:
1), pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa
sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini
jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini
dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat
bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman
terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi.
Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
2.
Purwo (1990: 16)
mendefinisikan pragmatik sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance)
menggunakan makna yang terikat konteks. Sedangkan memperlakukan bahasa secara
pragmatik ialah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni
penggunaannya pada peristiwa komunikasi (Purwo, 1990: 31).
3.
Menurut Verhaar
(1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang
apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan
pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal
“ekstralingual” yang dibicarakan.
1.2
JENIS-JENIS
PRAGMATIK
a. Tindak
Tutur
1. Pengertian
Tindak Tutur
Tindak tutur adalah salah satu analisis pragmatik yang
mengkaji bahasa dengan aspek pemakaian aktualnya. Tindak tutur pertama kali
dikenalkan oleh Austin pada tahun 1965, yang merupakan teori yang dihasilkan
dari studinya. Kemudian teori ini dikembangkan oleh Searle (1969) dengan
menerbitkan sebuah buku Speech Acts: An Essay in the Philosophy of
Language. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau
kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari
lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (the
performance of speech acts).
Leech (1994: 4) menyatakan bahwa sebenarnya dalam
tindak tutur mempertimbangkan lima aspek situasi tutur yang mencakup: penutur
dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai sebuah
tindakan/aktivitas dan tuturan sebagai produk tindak verbal.
Chaer (dalam Rohmadi, 2004) menyatakan bahwa tindak
tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan
ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam
tuturannya.
Suwito dalam bukunya Sosiolinguistik: Teori dan
Problem mengemukakan jika peristiwa tutur (speech event) merupakan gejala
sosial dan terdapat interaksi antara penutur dalam situasi dan tempat tertentu,
maka tindak tutur lebih cenderung sebagai gejala individual, bersifat
psikologis dan ditentukanm oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi
situasi tertentu.
Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai
suatu fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.
2. Jenis-Jenis Tindak
Tutur
Austin (1962:1-11) membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus
deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur konstatif
adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji
–benar atau salah—dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia. Misalnya
seseorang mengatakan “Jakarta ibu kota Indonesia”. Sedangkan tindak tutur
performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan
sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau
benar, tetapi sahih atau tidak. Contoh: Penghulu yang mengatakan “Saya nyatakan
kalian sah sebagai suami istri”.
Berkenaan
dengan tuturan, Austin membedakan tiga macam tindakan :
- Tindak
tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat
sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya.
Contoh:
Ani: “Ibu sedang memasak di dapur”
Kalimat
tersebut memiliki informasi bahwa ibu dari si Ani sedang memasak di dapur.
- Tindak
tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan
siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu
dilakukan,dan lain sebagainya. Tindak tutur ilokusi berkaitan dengan
beberapa fungsi dalam pikiran pembicara.
Contoh:
Ayah: “Ujian sudah dekat”
Jika
sang Ayah bicara pada anaknya, maka yang timbul di pikiran anak mungkin saja
bisa berupa teguran dari sang Ayah agar dia lebih rajin belajar karena ujian
sudah dekat.
- Tindak
tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi mitra tutur. Tindak tutur perlokusi memiliki akibat tuturan
(hal yg dilakukan pendengar akibat ilokusi). Tindak tutur perlokusi
terjadi bila lawan tutur melakukan sesuatu setelah adanya lokusi dan
ilokusi. Dari contoh 2 maka perlokusinya adalah anak belajar dengan rajin
karena ujian sudah dekat.
3. Pembagian Tindak Tutur
- Tindak
Tutur Langsung: Tindak tutur yang sesuai dengan fungsi kalimat yang
membentuknya (kalimat berita, tanya dan perintah). Contoh: – Seorang
Dokter berkata kepada pasiennya: “Buka mulutnya!”
- Tindak
Tutur Tak Langsung: Tindak tutur yang tidak sesuai dengan fungsi kalimat
yang membentuknya.
Contoh:
Andi: “Bu, mau bikin kopi, tidak ada gulanya”
Ibu: “Ini uangnya. Beli sana”
3. Tindak Tutur Literal: Tindak tutur yang memiliki
maksud yang sama dengan kata-kata yang menyusunnya.
Contoh:
Ayah: “Nilai raportmu bagus, ya!”
Tindak
tutur yang disampaikan seorang ayah kepada anaknya, ketika melihat nilai raport
yang diperolehnya bagus.
4. Tindak Tutur Non-Literal: Tindak tutur yang memiliki
maksud yang berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya.
Contoh:
Dosen: “Bagus, berisik aja terus!”
Tindak
tutur bernada ironis yang disampaikan oleh seorang dosen ketika mahasiswanya
berisik. Bukan berarti dia memuji mahasiswa, akantetapi menyuruh mereka untuk
tidak berisik.
1.2. Searle menggolongkan tindak tutur menjadi lima
jenis, yaitu:
- Representatif
Representatif merupakan tindak tutur yang mengikat
penuturnya kepada kebenaran atas hal yang dikatakannya. Tindak tutur jenis ini
juga disebut dengan tindak tutur asertif. Yang termasuk tindak tutur jenis ini
adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan,
memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi. Contoh: “Bapak Gubernur
meresmikan gedung baru ini”.
- Direktif
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang
dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan sesuai apa yang
disebutkan di dalam tuturannya. Tindak tutur direktif disebut juga dengan
tindak tutur impositif. Yang termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara
lain tuturan meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh,
menagih, memerintah, mendesak, memohon, menantang, memberi aba-aba. Contohnya
adalah “Bantu aku memperbaiki tugas ini”. Contoh tersebut termasuk ke dalam
tindak tutur jenis direktif sebab tuturan itu dituturkan dimaksudkan penuturnya
agar melakukan tindakan yang sesuai yang disebutkan dalam tuturannya yakni
membantu memperbaiki tugas. Indikator dari tuturan direktif adalah adanya suatu
tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.
- Ekspresif
Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak tutur
evaluatif. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang
disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan mengucapkan terima kasih,
mengeluh, mengucapkan selamat, menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik.
Tuturan “Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa
mencukupi kebutuhan keluarga”.
- Komisif
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat
penuturnya untuk melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya,
misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul.
Contoh tindak tutur komisif kesanggupan adalah “Saya sanggup melaksanakan
amanah ini dengan baik”. Tuturan itu mengikat penuturnya untuk
melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini membawa konsekuensi bagi
dirinya untuk memenuhi apa yang telah dituturkannya.
- Deklarasi
Tindak tutur deklarasi merupakan tindak tutur yang
dimaksudkan penuturnya utuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya)
yang baru. Tindak tutur ini disebut juga dengan istilah isbati. Yang termasuk
ke dalam jenis tuutran ini adalah tuturan dengan maksud mengesankan,
memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan,
mengangkat, mengampuni, memaafkan. Tindak tutur deklarasi dapat dilihat dari
contoh berikut ini.
- “Ibu
tidak jadi membelikan adik mainan.” (membatalkan)
- “Bapak
memaafkan kesalahanmu.” (memaafkan)
- “Saya
memutuskan untuk mengajar di SMA almamater saya.” (memutuskan).
b. Implikatur
Implikatur mengacu kepada jenis “kesepakatan
bersama”antara penutur dan lawan tuturnya, kesepakatan dalam pemahaman, bahwa
yang dibicarakan harus saling berhubungan. Hubungan atau keterkaitan itu
sendiri tidak terdapat pada masing-masing ujaran. Artinya,makna keterkaitan itu
tidak diungkapkan secara harafiah pada ujaran itu. Didalam implikatur,
hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud tertentu yang tidak
dituturkan bersifat tidak mutlak.
Jenis
Implikatur
- Implikatur
konvensional adalah implikatur yang diperoleh langsung dari makna kata,
bukan dari prinsip percakapan. Tuturan berikut ini mengandung implikatur
konvensional. Contoh:
- Lia
orang Tegal, karena itu kalau bicara ceplas-ceplos.
- Poltak
orang Batak, jadi raut mukanya terkesan galak.
·
Implikatur
nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang
tersirat di dalam suatu percakapan. Di dalam komunikasi, tuturan selalu
menyajikan suatu fungsi pragmatik dan di dalam tuturan percakapan itulah
terimplikasi suatu maksud atau tersirat fungsi pragmatik lain yang dinamakan
implikatur percakapan.
Contoh:
Seorang kakak
mengatakan pada adiknya yang sedang menangis: “Bapak datang. Jangan menangis
lagi!”
Pernyataan
tersebut bukan berarti seorang bapak yang datang dari suatu tempat, tapi
kebiasaan Si Bapak yang marah jika melihat anaknya menangis, sehingga kakak
menyuruh adiknya untuk tidak menangis lagi.
A: “Jam berapa ini?”
B:
“tenang saja, gerbang sekolah ditutup sepuluh menit lagi”
c. Deiksis
Menurut Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara
untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat
ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi
pembicaraan.
Agustina (dalam http://yusrizalfirzal.wordpress.com/2011/03/11/deiksis/) menyatakan bahwa deiksis adalah kata atau frasa yang
menunjuk kepada kata, frasa, atau ungkapan yang telah dipakai atau yang akan
diberikan.
Dalam kajian pragmatik, deiksis dapat dibagi menjadi
jenis-jenis sebagai berikut:
Ø
Deiksis Orang
Deiksis orang adalah pemberian rujukan kepada orang
atau pemeran serta dalam peristiwa berbahasa Dalam kategori deiksis orang, yang
menjadi kriteria adalah peran pemeran serta dalam peristiwa berbahasa tersebut.
Bahasa Indonesia mengenal pembagian kata ganti orang menjadi tiga yaitu, kata
ganti orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga.
Contoh:
“Saya dan Ani makan di tempat yang kami sukai”
‘kami’
merujuk pada ‘saya dan Ani’
Ø
Dieksis Tempat
Dieksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi
ruang atau tempat yang dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa
berbahasa itu Dalam berbahasa, orang akan membedakan antara di sini, di situ
dan di sana. Hal ini dikarenakan di sini lokasinya dekat dengan si pembicara,
di situ lokasinya tidak dekat pembicara, sedangkan di sana lokasinya tidak
dekat dari si pembicara dan tidak pula dekat dari pendengar.
Contoh:
Duduklah bersamaku di sini.
Ø
Deiksis Waktu
Deiksis waktu adalah pengungkapan atau pemberian
bentuk kepada titik atau jarak waktu yang dipandang dari waktu sesuatu ungkapan
dibuat. Contoh deiksis waktu adalah kemarin, lusa, besok, bulan ini, minggu
ini, atau pada suatu hari.
Contoh:
- Gaji
bulan ini tidak seberapa yang diterimanya.
- Saya
tidak dapat menolong Anda sekarang ini.
Ø
Deiksis Wacana
Deiksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian
tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau yang sedang dikembangkan.
Deiksis wacana ditunjukkan oleh anafora dan katafora. Sebuah rujukan dikatakan
bersifat anafora apabila perujukan atau penggantinya merujuk kepada hal yang
sudah disebutkan.
Contoh
kalimat yang bersifat anafora: Mobil keluaran terbaru itu harganya sangat
mahal. Kata ‘itu’ merujuk pada ‘mobil’ yang telah disebutkan sebelumnya,
sehingga berupa dieksis anafora.
Sebuah rujukan atau referen dikatakan bersifat
katafora jika rujukannya menunjuk kepada hal yang akan disebutkan. Contoh
kalimat yang bersifat katafora dapat dilihat dalam kalimat berikut.
- Di
sini, digubuk tua ini mayat itu ditemukan.
- Setelah
dia masuk, langsung Toni memeluk adiknya.
Ø
Deiksis Sosial
Deiksis sosial adalah mengungkapkan atau menunjukkan
perbedaan ciri sosial antara pembicara dan lawan bicara atau penulis dan
pembaca dengan topik atau rujukan yang dimaksud dalam pembicaraan itu. Contoh
deiksis sosial misalnya penggunaan kata mati, meninggal, wafat dan mangkat
untuk menyatakan keadaan meninggal dunia. Masing-masing kata tersebut berbeda
pemakaiannya. Begitu juga penggantian kata pelacur dengan tunasusila, kata
gelandangan dengan tunawisma, yang kesemuanya dalam tata bahasa disebut
eufemisme (pemakaian kata halus). Selain itu, deiksis sosial juga ditunjukkan
oleh sistem honorifiks (sopan santun berbahasa). Misalnya penyebutan pronomina
persona (kata ganti orang), seperti kau, kamu, dia, dan mereka, serta
penggunaan sistem sapaan dan penggunaan gelar. Contoh pemakaian deiksis sosial
adalah pada kalimat berikut.
- Apakah
saya bisa menemui Bapak hari ini?
- Saya
harap Pak Haji berkenan memenuhi undangan saya.
1.3
TEORI DAN PRINSIP
KESANTUNAN DALAM PRAGMATIK
Banyak dari ahli linguistik yang mengemukakan konsep
tentang kesantunan. Dan kesemua konsep kesantunan yang dikemukakan oleh
para ahli tersebut berbeda-beda. Mereka mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang
konsep tersebut. Konsep kesantunan tersebut ada yang dirumuskan dalam bentuk
kaidah yang disebut dengan prinsip-prinsip kesantunan. Sedangkan konsep
kesantunan yang dirumuskan dalam strategi-strategi dinamakan teori kesantunan.
Prinsip kesantunan (politeness principple) itu berkenaan
dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral dalam
bertindak tutur. Didalam bertutur seorang penutur tidak hanya menyampaikan
informasi,tugas, kebutuhan, atau amanat, tetapi lebih dari itu, yaitu menjaga
dan memelihara hubungan sosial antara penutur dan mitra penutur.
Sejumlah ahli telah merumuskan konsep kesantunan
mereka dalam prinsip kesantunan seperti Lakoff (1972) dan Leech
(1983). Sedangkan, Fraser (1978) danBrown dan
Levinson (1978) merumuskan konsep kesantunan mereka dalam teori
kesantunan.
1. PRINSIP
KESANTUNAN LAKOFF (1972)
Prinsip kesantunan Lakoff berisi 3
kaidah yang harus ditaati agar tuturan itu dianggap santun. Ketiganya antara
lain yaitu:
a. Kaidah
Formalitas
Kaidah ini berarti ‘jangan memaksa atau jangan
angkuh’. Yang artinya bahwa sebuah tuturan yang memaksa dan angkuh dianggap
kuarng santun, dan begitu juga sebaliknya, jika sebuah tuturan dirasa tidak
angkuh dan tidak memaksa maka tuturan tersebut dianggap santun. Seperti
contoh di bawah ini:
· Bersihkan lantai itu sekarang juga! (kurang
santun)
b. Kaidah
Ketidaktegasan
Kaidah ini berisi saran bahwa penutur supaya bertutur
sedemikian rupa sehingga mitra tuturnya dapat menentukan pilihan. Hal ini
berarti sebuah tuturan dianggap santun apabila memberikan pilihan kepada mitra
tuturnya, dan juga sebaliknya jika sebuah tuturan tidak memberikan pilhan
kepada mitra tuturnya maka tuturan itu dianggap tidak santun. Seperti contoh di
bawah ini:
·Jika ada waktu dan tidak lelah,
perbaiki sepeda saya! (santun)
c. Kaidah
Persamaan atau Kesekawanan
Kaidah ini berisi bahwa hendaknya penutur bertindak
seolah-olah mitra tuturnya itu sama atau, dengan kata lain buatlah mitra tutur
merasa senang. Hal ini berarti sebuah tuturan dianggap santun apabila tuturan
sang penutur membuat senang mitra tuturnya, dan juga sebaliknya jika tuturan
sang penutur membuat tidak senang mitra tuturnya maka tuturan tersebut dianggap
tidak santun. Seperti contoh di bawah ini:
· Halus sekali hatimu seperti kulitku. (santun)
2. PRINSIP KESANTUNAN BROWN DAN
LEVINSON (1978)
Prinsip kesantunan Brown dan Levinson ini
berkisar pada nosi muka, yaitu muka positif dan muka
negatif. Muka positif adalah muka yang mengacu pada citra diri orang yang berkeinginan
agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan
nilai-nilai yang diyakininya, diakui orang sebagai suatu hal yang baik,
menyenangkan, patut dihargai, dst. Seperti contoh di bawah ini:
· Saya salut atas keteknan belajarmu. (santun)
Sedangkan muka negatif adalah muka yang mengacu pada
citra diri orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan panutur
membiarkannya bebas melakukan tindakannnya atau membiarkannya bebas dari
keharusan mengerjakan sesuatu.
· Jangan merokok di situ! (kurang santun)
Selain hal di atas Brown dan Levinson juga
merumuskan prinsip kesantunannya ke dalam lima strategi. Kelima strategi
tersebut adalah:
1) Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa
basa-basi, dengan mematuhi prinsip kerjasama Grice.
2) Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan
posotif;
3) Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan
negatif;
4) Melakukan tindak tutur secara off records;
dan
5) Tidak melakukan tindak tutur atau diam saja.
Pemilihan strategi itu tergantung kepada besar
kecilnya ancaman terhadap muka. Makin kecil ancaman terhadap muka, makin kecil
nomor pilihan strateginya dan makin besar ancaman terhadap muka, makn
besar pula nomor pilihan strategi bertuturnya.
3. PRINSIP KESANTUNAN LEECH (1983)
Prinsip kesantunan Leech didasarkan
pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah itu adalah bidal-bidal atau pepatah yang
berisi nasehat yang harus dipatuhi agar tuturan penutur memenuhi prinsip
kesantunan. Prinsip kesantunan Leech itu juga didasarkan pada
nosi-nosi: biaya (cost) dan keuntungan (benefit), celaan atau penjelekan (dispraise) dan pujian (praise) kesetujuan (agreement), serta kesimpatian dan keantipatian (sympathy/antipathy). Berikut
ini adalah bidal-bidal dalam prinsip kesantunan Leech:
1) Bidal
Ketimbangrasaan (tact maxim)
a. Minimalkan biaya kepada pihak lain!
b. Maksimalkan keuntungan pada pihak lain!
Hal itu bisa dilihat dari jumlah kata atau
ekspresi yang kita tuturkan jumlahnya lebih besar dari tuturan mitra tutur yang
berarti meminimalkan biaya kepada mitra tutur dan memberika keuntungan
yang sebesar-besarnya kepada mitra tutur.
· A
: Mari saya masukkan surat anda ke kotak pos.
· B
: Jangan, tidak usah! (santun)
· A
: Mari saya masukkan surat anda ke kotak pos.
· B
: Ni, itu baru namanya teman. (kurang santun)
2) Bidal
Kemurahhatian (generosity maxim)
a. Minimalkan keuntungan kepada diri sendiri!
b. Maksimalkan keuntungan pada pihak lain!
Nasehat yang dikemukakan dalam bidal ini adalah bahwa
pihak lain di dalam tuturan hendaknya diupayakan mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya sementara itu diri sendiri atau penutur hendaknya berupaya
mendapatkan keuntungan sekrcil-kecilnya.
· A
: Pukulanmu sangat keras.
· B
: Saya kira biasa saja, Pak. (santun)
· A
: Pukulanmu sangat keras.
· B
: Siapa dulu? (tidak santun)
3) Bidal
Keperkenaan (approbation maxim)
a. Minimalkan penjelekan kepada pihak lain!
b. Maksimalkan pujian pada pihak lain!
Bidal keperkenaan adalah petunjuk untuk meminimalkan
penjelekan terhadap pihak lain, dan memaksimalkan pujian kepada pihak lain.
Contohnya di bawah ini:
· A
: Mari Pak, seadanya.
· B
: Terlalu banyak, sampai-sampai saya susah memilihnya.(santun)
· A
: Mari Pak, seadanya.
· B
: Ya, segini saja nanti kan habis semua. (tidak santun)
4) Bidal
Kerendahhatian (modesty maxim)
a. Minimalkan pujian kepada diri sendiri!
b. Maksimalkan penjelekan kepeda diri sendiri!
Nasehat dari bidal ini adalah bahwa penutur hendaknya
meminimalkan pujian kepada diri sendiri, dan juga memaksimalkan penjelekan
kepada mitra tuturnya.
· Saya ini anak kemarin, Pak. (santun)
· Maaf, saya ini orang kampung. (santun)
· Saya ini sudah makan garam. (tidak
santun)
· Hanya saya yang bisa seperti
ini. (tidak santun)
5) Bidal
Kesetujuan (agreement maxim)
a. Minimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dengan
orang lain!
b. Maksimalkan kesutujuan antara diri sendiri dengan
pihak lain!
Bidal kesetujuan adalah bidal yang memberikan nasehat
untuk meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dengan orang lain dan
memaksimalkan kesutujuan antara diri sendiri dengan pihak lain.
· A
: Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
· B
: Boleh. (santun)
· A
: Bagaimana kalau lemari ini kita pindah?
· B
: Saya tidak setuju. (tidak santun)
6) Bidal
Kesimpatian (sympathy maxim)
a. Minimalkan antipati antara diri sendiri dengan orang
lain!
b. Maksimalkan simpati antara diri sendiri dengan pihak
lain!
Bidal ini berarti bahwa penutur hendaknya meminimalkan
ketidaksetujuan antara diri sendiri dengan orang lain dan memaksimalkan
kesutujuan antara diri sendiri dengan pihak lain.
Saya
ikut berduka cita atas meniggalnya ibunda.
· A
: Pak, Ibu saya meninggal.
· B
: Tumben. (tidak santun)
2.4 SKALA KESANTUNAN
Skala yaitu rentangan rentangan tingkatan untuk
menentukan sesuatu. Skala kesantunan adalah rentangan tingkatan untuk
mementukan kesantunan suatu tuturan. Menurut Leech ada tiga
macam skala yang digunakan untuk mengukur atau menilai kesantunan suatu tuturan
berkenaan dengan bidal kesetimbangrasaan prinsip kesantunan. Ketiga skala itu
adalah skala biaya-keuntungan, skala keopsionalan,dan skala
ketidaklangsungan.
a. Skala
Biaya-Keuntungan
Skala biaya-keuntungan berupa rentangan tingkatan
untuk menghitung biaya dan keuntungan di dalam melakukan suatu tindakan
berkenaan dengan penutur dan mitra tuturnya. Maksudnya skala biaya-keuntungan
itu adalah semakin memberikan beban biaya (sosial) kepada mitra tutur semakin
kurang santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin memberikan keuntungan kepada
mitra tutur, semakin santunlah tuturan tersebut.
b. Skala
Keopsionalan
Skala keopsionalan adalah rentangan pilihan untuk
menghitung jumlah pilihan tindakan bagi mitra tutur. Makna skala keopsionalan
itu adalah semakin memberikan banyak pilihan pada mitra tutur semakin santunlah
tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tidak memberikan pilihan tindakan pada
mitra tutur, semakin kurang santunlah tuturan itu.
c. Skala
Ketaklangsungan
Skala ketaklangsungan menyangkut ketaklangsungan
tuturan. Makna skala ketaklangsungan itu adalah semakin taklangsung, semakin
santunlah tuturan tersebut. Sebalikya, semakin langsung, semakin kurang
santunlah tuturan tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pragmatik dapat dianggap sebagai salah satu bidang kajian
linguistik yang akhir-akhir ini berkembang pesat. Wujud tuturan yang dahulu
dibuang di keranjang sampah karena tidak dapat dianalisis secara linguistik
sekarang merupakan lahan subur dalam kajian pragmatik. Baik semantik ataupun
pragmatik sama-sama mengkaji “arti” namun dari sudut pandang yang berbeda.
Semantik mengkaji arti lingual yang tidak terikat konteks, sedangkan pragmatik
mengkaji “arti” yang disebut “the speaker’s meaning” atau arti
menurut tafsiran menurut penutur yang disebut “maksud”. Arti menurut tafsiran
penutur atau maksud itu sangat bergantung konteks. Tanpa memperhitungkan konteks
arti itu tidak dapat dipahami.
3.2 Saran
Mahasiswa
yang telah mengikuti mata kuliah ini, serta mahasiswa yang telah membahas
tentang pragmatik ini pada khususnya, mahasiswa harus mampu menguasai
pengertian pragmatik, sejarah pragmatik di dunia, tokoh-tokoh pragmatik,
prinsip teori pragmatik, kaidah dari teori pragmatik, serta contoh pragmatik.
DAFTAR PUSTAKA
Levinson, Stephen C.
1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Purwo, Bambang
Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak
Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.
Tarigan, Henry Guntur.
2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.
Rustono. 1999. Pokok-Pokok
Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.
Posting Komentar untuk "MAKALAH PRAGMATIK LENGKAP"